Krisis Lingkungan dan Sosial di Halmahera: Dampak Ekspansi Industri Pertambangan

Beberapa warga halmahera timur dan utara sedang berdemonstrasi
Foto demonstran warga halmahera 

Banjir yang melanda wilayah Halmahera Tengah dan Halmahera Timur pada 21-24 Juli 2024 merupakan salah satu contoh nyata dampak buruk dari ekspansi industri pertambangan yang tidak terkendali. Bencana ini tidak hanya menimbulkan kerugian materiil, tetapi juga mengancam kehidupan dan kesejahteraan ribuan penduduk di kawasan tersebut.


Banjir dengan ketinggian mencapai tiga meter telah merendam dan mengisolasi sejumlah desa, seperti Desa Lelilef Woebulan, Lukulamo, serta area Transmigran Kobe yang mencakup Woekob, Woejerana, dan Kulo Jaya. Di Halmahera Timur, setidaknya 12 desa mengalami dampak serupa. Kerusakan yang ditimbulkan melibatkan infrastruktur vital seperti jalan, jembatan, dan rumah penduduk, yang menyebabkan penghentian aktivitas sehari-hari dan memaksa banyak orang mengungsi dari rumah mereka.


Selain banjir, wilayah ini juga menghadapi ancaman tanah longsor yang semakin memperburuk situasi. Beberapa ruas jalan utama, seperti Buli-Subaim, Buli-Maba Tengah, dan Jalan Uni-Uni di Halmahera Timur, mengalami kerusakan parah akibat longsor. Di Halmahera Tengah, longsor memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda. Terputusnya akses jalan ini semakin menyulitkan upaya penyelamatan dan distribusi bantuan ke daerah-daerah terdampak.


Laporan terbaru dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkapkan bahwa aktivitas pertambangan nikel yang masif berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan di Halmahera. Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa antara 2021 hingga 2023, Halmahera Tengah kehilangan sekitar 27,9 ribu hektare tutupan pohon. Ini setara dengan penurunan sebesar 13% dari total tutupan pohon sejak tahun 2000 dan berkontribusi pada pelepasan 22,4 juta ton CO₂e. Kerusakan ini sebagian besar terjadi di kawasan konsesi tambang nikel, yang menyebabkan penurunan kualitas sumber daya air tawar dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan.


Penggundulan hutan yang dilakukan untuk mendukung aktivitas pertambangan tidak hanya mempengaruhi ekosistem lokal tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Hutan yang selama ini menjadi sumber pangan dan obat-obatan bagi penduduk setempat kini telah digantikan oleh lubang tambang besar. Desa-desa seperti Lelilef Sawai, Lelilef Woebulan, Sagea, Fritu, Waleh, serta Kulo Jaya dan Woejerana, mengalami kerusakan parah pada lahan pertanian dan perkebunan yang sebelumnya menjadi sumber pangan utama bagi masyarakat. Kerusakan ini tidak hanya mengancam ketahanan pangan lokal tetapi juga mempengaruhi ekonomi dan kesehatan masyarakat.


Selain itu, lahan pertanian di kawasan Transmigran Kobe seperti Desa Woekob juga turut terdampak, memperburuk krisis pangan yang sudah ada. Akibat dari kerusakan ini, warga Halmahera Tengah kini bergantung pada pasokan pangan dari wilayah Transmigran Wairoro dan Waleh di Weda Selatan serta Weda Utara. Ironisnya, kedua wilayah ini juga terancam oleh rencana perluasan kawasan industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), yang semakin memperburuk situasi yang dihadapi oleh masyarakat.


Krisis ini juga mencakup masalah kekeringan yang diperparah oleh pengambilan air sungai yang berlebihan oleh perusahaan tambang. Sebagai contoh, IWIP menyedot sekitar 27 ribu m³ air per hari dari Sungai Kobe, Sungai Sake, Sungai Wosia, dan Sungai Sagea untuk mendukung kegiatan produksinya. Jumlah ini jauh melebihi kebutuhan air seluruh penduduk Kabupaten Halmahera yang pada 2023 mencapai 10.667,47 m³ per hari. Pengambilan air dalam jumlah besar ini tidak hanya mengancam ketersediaan air untuk masyarakat tetapi juga berkontribusi pada penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya air di wilayah tersebut.


Dampak dari pengambilan air yang berlebihan ini terlihat jelas pada kualitas perairan di pesisir Teluk Weda, yang kini tercemar dengan logam berat dari aktivitas pengolahan nikel. Nelayan yang sebelumnya dapat dengan mudah menangkap ikan di perairan ini kini harus berlayar lebih jauh untuk mendapatkan hasil tangkapan yang memadai. Penurunan produktivitas hasil tangkapan ikan ini menyebabkan ketergantungan pada pasokan ikan dari Pulau Gebe, Halmahera Barat, Halmahera Utara, Halmahera Timur, dan wilayah Oba di Kota Tidore Kepulauan.


Krisis lingkungan dan sosial yang dihadapi Halmahera menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih bijaksana dan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Pengelolaan yang terintegrasi dan berbasis pada prinsip keberlanjutan sangat penting untuk melindungi ekosistem dan memastikan kesejahteraan masyarakat setempat. Ini termasuk perlunya pengawasan yang ketat terhadap kegiatan pertambangan, implementasi kebijakan yang efektif untuk mitigasi bencana, serta upaya perlindungan dan rehabilitasi hutan.


Pemerintah, perusahaan tambang, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menemukan solusi yang seimbang antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Dialog terbuka dan partisipasi aktif dari semua pihak sangat penting untuk menyusun strategi yang dapat mengatasi tantangan ini dan mencegah terulangnya bencana serupa di masa depan.


Kesadaran akan pentingnya melindungi lingkungan dan sumber daya alam harus menjadi prioritas utama dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek industri. Langkah-langkah konkrit, seperti penegakan hukum yang lebih ketat, penerapan teknologi ramah lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat lokal, diperlukan untuk menghadapi dan mengatasi dampak negatif dari ekspansi industri pertambangan.


Dengan upaya bersama dan komitmen yang kuat dari semua pihak, diharapkan Halmahera dapat pulih dari krisis ini dan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan harmonis. Halmahera tidak hanya memiliki kekayaan alam yang luar biasa, tetapi juga memiliki potensi untuk menjadi contoh sukses dalam pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama