Di tengah-tengah berbagai mitos dan cerita menarik yang berkembang seputar tokoh-tokoh bersejarah, ada satu cerita yang cukup menghebohkan mengenai Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. Legenda urban yang beredar menyebutkan bahwa Soekarno memiliki tumpukan emas batangan seberat 57 ton yang disimpan di Bank Swiss. Cerita ini telah menciptakan kegemparan tidak hanya di masa lalu tetapi juga hingga saat ini, membuat banyak orang penasaran dan terpesona dengan kisah tersebut.
Rumor yang menyebar lebih jauh mengklaim bahwa seluruh emas itu dipinjam oleh Presiden Amerika Serikat (AS) John F. Kennedy pada tahun 1963. Konon, peminjaman ini dilakukan untuk mendukung proyek pembangunan di Amerika Serikat. Cerita ini menambahkan lapisan dramatis pada mitos tersebut, seolah-olah ada perjanjian internasional besar yang melibatkan kekayaan eksotis dari negara berkembang yang kemudian digunakan untuk mendukung pembangunan negara maju.
Namun, mari kita telusuri fakta sebenarnya di balik cerita yang menggemparkan ini. Apakah benar Soekarno memiliki kekayaan emas sebanyak itu? Untuk memahami kebenaran di balik legenda ini, penting untuk merujuk pada data sejarah dan pernyataan langsung dari Soekarno serta orang-orang yang dekat dengannya.
Kondisi Keuangan Soekarno: Fakta yang Tersembunyi
Jika kita meneliti lebih dalam tentang keadaan finansial Soekarno selama masa kepresidenannya, tampaknya klaim tentang kekayaan emas batangan yang berlimpah tidak didukung oleh bukti yang kuat. Menurut berbagai catatan sejarah, Soekarno mengalami berbagai kesulitan finansial yang cukup signifikan selama menjabat sebagai presiden.
Dalam sebuah wawancara dengan jurnalis Amerika, Cindy Adams, Soekarno sendiri mengungkapkan betapa sulitnya keuangan yang dia hadapi. Soekarno menyatakan bahwa gaji yang diterimanya sebagai presiden hanya sebesar US$ 220 per bulan. Angka ini jelas jauh dari cukup untuk menimbun kekayaan sebesar 57 ton emas. Selama masa kepresidenannya, Soekarno tidak memiliki rumah atau tanah pribadi, yang membuatnya harus berpindah-pindah dari satu istana negara ke istana negara lainnya.
Cerita lain yang mengungkapkan betapa miskinnya Soekarno adalah saat dia mendapatkan piyama baru dari seorang duta besar selama kunjungan luar negeri. Duta besar tersebut merasa prihatin melihat kondisi baju tidurnya yang sudah robek. Kisah ini menunjukkan bahwa Soekarno mengalami kesulitan dalam hal kebutuhan dasar sehari-hari, yang sangat berbeda dengan gambaran kekayaan yang diklaim dalam legenda urban.
Kehidupan Soekarno yang Sederhana
Kehidupan sehari-hari Soekarno juga menunjukkan bahwa dia tidak hidup dalam kemewahan. Dalam wawancaranya dengan Cindy Adams, Soekarno bahkan menyinggung tentang betapa seringnya dia harus meminjam uang dari ajudan dan sahabat-sahabatnya. Dia bertanya dengan nada retoris, "Adakah kepala negara yang hidup dalam kemiskinan seperti aku dan sering meminjam dari ajudannya?" Pertanyaan ini menggarisbawahi kenyataan bahwa, meskipun dia adalah presiden, dia tidak memiliki akses ke kekayaan pribadi yang berlimpah.
Lebih lanjut, ada cerita mengenai Soekarno yang hampir menerima bantuan berupa gedung dari rakyat yang merasa kasihan dengan kondisinya. Namun, dia menolak tawaran tersebut karena tidak ingin merepotkan rakyat. Keputusan ini mencerminkan integritas dan harga diri Soekarno, meskipun dia menghadapi kesulitan finansial yang berat.
Pandangan Keluarga Soekarno
Pernyataan mengenai kondisi keuangan Soekarno juga didukung oleh keluarganya. Putra pertama Soekarno, Guntur Soekarnoputra, dalam kolom opini yang diterbitkan Media Indonesia pada 26 September 2020, mengungkapkan bahwa Soekarno telah mengalami kesulitan keuangan sejak sebelum ia menjadi presiden. Guntur menjelaskan bahwa ayahnya sering meminjam uang dari sahabat-sahabatnya sejak masa perjuangan kemerdekaan, termasuk Agoes Moesin Dasaad.
Guntur menekankan bahwa, berdasarkan pengalamannya, Soekarno adalah presiden yang paling miskin di dunia ini. Dia tidak memiliki tanah, rumah, atau logam mulia seperti yang sering digembar-gemborkan dalam cerita-cerita urban. Pernyataan Guntur menambah bobot pada argumen bahwa klaim tentang kekayaan emas batangan adalah tidak berdasar.
Pandangan Sejarawan
Sejarawan Indonesia, Ong Hok Ham, juga memberikan pandangannya mengenai rumor tentang kekayaan Soekarno. Dalam bukunya yang berjudul "Kuasa dan Negara" (1983), Ong membantah cerita yang menyebutkan bahwa Soekarno mewarisi kekayaan dari kerajaan Mataram Islam. Ong menjelaskan bahwa sangat tidak mungkin seseorang dapat mewarisi harta dalam jumlah besar dari kerajaan kuno, apalagi dalam bentuk batangan emas.
Menurut Ong, harta dari kerajaan kuno tidak sebesar yang sering dibayangkan orang. Pada masa itu, Mataram Islam bahkan masih memiliki utang kepada VOC. Argumen ini menunjukkan bahwa klaim mengenai kekayaan yang diwarisi dari kerajaan Mataram Islam adalah tidak realistis dan tidak berdasar.
Ong juga mencatat bahwa klaim tentang kekayaan Soekarno dapat disanggah dengan argumen sederhana: jika Soekarno benar-benar memiliki emas dalam jumlah besar, dia tidak mungkin hidup dalam kemiskinan hingga akhir hayatnya. Ini menegaskan bahwa cerita tentang harta karun emas batangan yang diklaim sebagai milik Soekarno adalah mitos yang tidak memiliki dasar kebenaran.
Kesimpulan
Melalui penelusuran data sejarah dan pernyataan dari orang-orang yang dekat dengan Soekarno, kita dapat menyimpulkan bahwa cerita tentang Soekarno yang memiliki 57 ton emas batangan di Bank Swiss adalah sebuah mitos urban belaka. Fakta menunjukkan bahwa Soekarno menghadapi berbagai kesulitan finansial selama masa kepresidenannya, seperti yang diungkapkan oleh Soekarno sendiri, keluarganya, dan sejarawan.
Cerita tentang kekayaan emas batangan ini tampaknya lebih merupakan hasil dari spekulasi dan imajinasi publik daripada fakta sejarah yang didukung oleh bukti konkret. Dengan kemajuan teknologi informasi dan penyebaran berita yang cepat, penting bagi kita untuk selalu memverifikasi informasi dan membedakan antara fakta sejarah dan legenda urban yang mungkin tidak memiliki dasar yang kuat. Seiring dengan pengetahuan dan pemahaman kita yang berkembang, kita dapat lebih bijaksana dalam menyikapi dan menyebarluaskan cerita-cerita yang beredar.